Rabu, 08 Februari 2012

EKSISTENSI NAHWU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DAN PROBLEMATIKA PEMBELAJARANNYA UNTUK TINGKAT PEMULA

 
EKSISTENSI NAHWU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DAN PROBLEMATIKA PEMBELAJARANNYA UNTUK 
TINGKAT PEMULA
 
Oleh: Sahkholid Nasution, MA. *


A. Pendahuluan
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit santri, siswa atau mahasiswa yang mempelajari bahasa Arab berkomentar, bahwa materi nahwu merupakan materi yang paling sulit dipelajari. Penilaian ini kemudian menimbulkan image negatif terhadap bahasa Arab, dimana bahasa Arab dianggap sebagai “momok” yang menakutkan, dan kemudian membuat banyak orang tidak simpatik belajar bahasa Arab.
Disisi lain, bahasa Arab memiliki arti penting bagi setiap muslim. Karena bahasa Arab merupakan bahasa kitab suci umat Islam. Sementara itu, setiap muslim harus tahu dengan ajaran agamanya. Maka keharusan mengetahui dan mendalami ajaran agama Islam sama posisinya dengan keharusan mengetahui bahasa Arab dengan baik. Karena tidak mungkin bisa mengetahui isi Al-Quran dan Hadis dengan baik, tanpa dilandasi penguasaan yang baik terhadap bahasa Arab.
Kedua sisi yang saling kontra produktif ini membuat banyak santri, siswa/i dan mahasiswa/i acuh tak acuh terhadap bahasa Arab. Problematika ini kemudian mengundang banyak pakar bahasa Arab untuk mencari akar masalah dan solusi yang tepat.
Diasumsikan bahwa banyak faktor yang “membidani” lahirnya problematika dimaksud, antara lain; metode yang kurang tepat, guru yang kurang profesional, atau karena materi nahwu itu sendiri yang memang sulit dipelajari.
Diantara beberapa asumsi di atas yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah asumsi ketiga, yaitu sulitnya materi nahwu. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana eksistensi nahwu dalam bahasa Arab?, kenapa materi nahwu itu sulit?, serta solusi apa yang dapat dipedomani dalam mengatasi sulitnya materi nahwu, khususnya bagi pemula?.

Inilah beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui tulisan ini. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan ilustrasi bagi pembaca tentang faktor yang melatarbelakangi sulitnya materi nahwu, khususnya untuk pemula, dan alternatif solusi yang mungkin bisa dipedomani dan juga diharapkan menjadi inspirasi bagi setiap pembaca, khususnya tenaga pengajar bahasa Arab, dalam upaya membumikan B. Arab di tanah air.
B.    Eksistensi Nahwu Dalam Bahasa Arab
Sebelum menjelaskan lebih jauh eksistensi nahwu dalam bahasa Arab, terlebih dahulu dijelaskan apa itu nahwu ?. Banyak pakar nahwu yang telah memberikan pemikirannya untuk menjawab pertanyaan di atas. Ibn Jiniy (w. 302 H.) -misalnya, mengungkapkan nahwu adalah:
انتخاب سَمْت كلام العرب، فى تصرفه من إعراب وغيره، كالتثنية، والجمع، والتحقير، والتكسير، والإضافة، والنسب، والتركيب، وغير ذلك، ليلحق من ليس من أهل اللغة العربية بأهلها فى الفصاحة، فينطق بها وإن لم يكن منهم.
Artinya: “Pedoman dalam memakai bahasa Arab berupa perubahan i’rab seperti tatsniyah, jama’, tahqîr, taksîr, idhâfah, nasab, tarkîb dll, agar non arab dapat berbicara fasih dengan bahasa Arab seperti halnya orang Arab.
Definisi di atas mencerminkan aspek struktural dalam bahasa Arab, itulah yang disebut dengan nahwu. Aspek ini berfungsi sebagai pedoman bagi mereka yang bukan bangsa Arab –khususnya- dalam menggunakan bahasa Arab, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
Definisi di atas relevan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ahmad al-Hâsyîmî. Ia mengatakan, bahwa secara etimologi nahwu berarti: “Maksud, arah, dan ukuran.” Secara terminology, nahwu adalah aturan (dasar hukum) yang digunakan untuk memberi baris (syakal) akhir kata sesuai dengan jabatannya masing-masing dalam kalimat agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan, baik pada bacaan dan pemahaman.”
Seiring dengan itu, Al-Jurjâni merangkum beberapa definisi tentang nahwu sebagai berikut: “(1) nahwu adalah ilmu yang mengandung sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk mengetahui posisi susunan kata bahasa Arab dalam kalimat seperti i’râb, binâ dsb., atau (2) ilmu yang mengandung sejumlah ketentuan untuk mendeteksi benar-tidaknya sebuah kalimat”.     
Memperhatikan beberapa defenisi di atas, dapat diketahui bahwa substansi nahwu adalah ketentuan-ketentuan atau yang biasa disebut dengan gramatikal (qawaid) dalam berbahasa Arab. Maka eksistensinya dalam bahasa Arab merupakan alat pengontrol untuk menghindari terjadinya kesalahan dengar, ucap, baca dan tulis dalam berbahasa Arab. Terjadinya kesalahan ucap, kesalahan baca atau kesalahan menulis, tidak hanya berkonsekuensi terhadap kesulitan mukhâtab (audience/orang kedua) dalam memahami pesan bahasa, tetapi juga bisa merubah makna pesan dari yang dimaksud oleh penyampai pesan.
Sebagai contoh kalimat: “كتبتُ الرسالةَ منظمة”, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Saya menulis surat secara sistematis.” Pesan ini bisa berubah jika kalimat di atas di baca “كتبتْ الرسالةُ منظمة” maknanya: “Si Al-Risâlah (nama orang) menulis secara sistematis.” Peru-bahan makna pesan itu terjadi seiring dengan perubahan harakah masing-masing kata dalam kalimat.
Di sisi lain, walaupun nahwu dianggap sebagai cabang ilmu bahasa Arab yang terpenting -karena ia memiliki fungsi yang sangat besar untuk menghindari kesalahan baik pada ucapan maupun pada tulisan- akan tetapi, bukan berarti menguasai nahwu telah merepresentasikan penguasaan terhadap bahasa Arab. Karena nahwu di samping bukan sebagai tujuan belajar bahasa, tetapi sebagai alat, nahwu juga hanya merupakan bagian dari cabang-cabang ilmu yang terdapat dalam bahasa Arab. 
Eksisitensi nahwu sebagai alat pengontrol untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam berbahasa Arab dapat dipahami melalui statemen Hasan Syahâtah sebagai berikut:
ليس القواعد غاية تقصد لذاتها، ولكنها وسيلة إلى ضبط الكلام، وتصحيح الأساليب، وتقويم اللسان، ولذلك ينبغي ألا ندرس منها الا القدر الذى يعين على تحقيق هذه الغاية.
Artinya: “Bukanlah gramatikal yang menjadi tujuan akhir. Akan tetapi, nahwu merupakan alat untuk membarisi kata, membaguskan struktur kalimat, dan aturan berbahasa. Oleh karena itu, seharusnya nahwu dipelajari tidak lebih dari untuk tujuan tersebut.”
Senada dengan statemen di atas, Abd Al-‘Alîm Ibrâhîm juga berpendapat:
القواعد وسيلة لضبط الكلام، وصحة النطق والكتابة، وليست غاية مقصودة لذاتها، وقد أخطأ كثير من المعلمين حين غالوا بالقواعد، واهتموا بجمع شواردها، والإلمام بتفاصيلها، والإثقال بهذا كله على التلاميذ، ظنا منهم أن فى ذلك تمكينا للتلاميذ من لغتهم، وإقدارا لهم على إجادة التعبير والبيان 
Artinya: “Qawaid (nahwu) adalah alat untuk memberi harkat kata, penuntun dalam berbicara dan menulis, ia bukan tujuan semata. Oleh karena itu, banyak guru yang terjebak salah, karena mereka memberikan perhatian penuh terhadap qawaid, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa dengan memberi-kan perhatian penuh terhadap qawaid dapat memungkinkan siswa bisa berbicara dan untuk memperoleh sejumlah informasi”.
Munculnya anggapan pada sebagian teoritisi bahasa Arab, bahwa bahasa Arab adalah nahwu atau menguasai nahwu berarti telah menguasai bahasa Arab, diasumsikan sebagai awal munculnya aliran stuktural dalam pendekatan pembelajaran bahasa, termasuk bahasa Arab. Berdasarkan pendekatan ini lahirlah gramatical method yang lebih mengutamakan penguasaan gramatika daripada penguasaan mendengar dan berucap.
Demikian halnya dalam sejarah perkembangan nahwu, konsen-trasi para ulama terhadap nahwu dinilai sangat terfokus, khususnya pada periode perkembangan dan keemasannya. Pada periode ini muncul analisis kata dan kalimat (i’râb) yang bersifat filosofis dari ulama nahwu Basrah yang satu abad kemudian disusul lahirnya ulama nahwu dari Kufah. Kedua kelompok ulama ini kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya aliran/mazhab di bidang ilmu nahwu, karena dalam banyak hal kedua aliran tersebut banyak berbeda pendapat.
C.Tingkat Pemula: Pengertian Dan Batasannya Dalam Belajar Bahasa Arab
Dalam bahasa Arab, “tingkat pemula” diterjemahkan dengan “al-Marhalat al-Ûla”, dalam bahasa Inggris disebut dengan elementary level. Sementara “tingkat menengah” dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan “al-Marhalat al-Mutawassithah”, dalam bahasa Inggris disebut dengan “Intermediate Level”.
Menurut Dr. Ali Al-Hadîdi, istilah “tingkat pemula dan/atau menengah” dalam dunia pembelajaran bahasa, termasuk bahasa Arab, dapat diukur dari dua aspek: pertama, aspek jumlah penguasaan mufradât siswa. Untuk tingkat pemula, mufradât yang harus dikuasainya adalah 0 s/d. 1.000 kata, demikian juga untuk tingkat menengah, (1.000 s/d. 2.000 kata). Kedua, dari segi jumlah jam pelajaran. Untuk tingkat pemula, jumlah jam pelajaran yang harus dilalui mencapai 0 s/d. 250 jam; 200 jam dihabiskan secara formal di sekolah dan 50 jam untuk tugas dll. Jumlah dan alokasi jam di atas, juga berlaku untuk “tingkat menengah” yaitu 250 jam pelajaran: yang terdiri dari: 200 jam di kelas (dalam bimbingan guru), dan selebihnya di luar kelas, seperti tugas harian (minimal dua jam dalam sehari) baik secara mandiri maupun berkelompok.
Memperhatikan batasan di atas, dapat diketahui bahwa dikatakan tingkat pemula jika telah menguasai mufradat sejumlah 1.000 kata. Sementara untuk beranjak pada tingkat menengah harus menguasai 2.000 mufaradat. Di sisi lain, jumlah jam pelajaran yang harus dilewati mencapai 250 jam.
Berdasarkan batasan di atas, istilah “pemula” dan/atau “menengah” tidak harus dipahami secara formal, seperti menyamakan “pemula” dengan SD atau MI, serta SLTP atau MTs dan SLTA atau Madrasah Aliyah dengan “menengah”. Karena masing-masing level tersebut diukur dengan penguasaan sejumlah kosa kata dan sejumlah jam pelajaran yang telah dilalui. Maka boleh saja seseorang yang telah berumur 30 tahun namun baru mulai belajar bahasa disebut sebagai “pemula,” atau sebaliknya siswa yang baru berumur 10 tahun, tapi telah menguasai kosa kata dan jam pelajaran setingkat menengah disebut sebagai “level menengah.”
Merujuk kepada Garis-Garis Besar Program Pembelajaran Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, Mata Pelajaran Bahasa Arab oleh Departemen Agama RI. Tahun 1997/1998 bahwa secara teori jumlah kosa kata yang harus dikuasai oleh siswa pada Madrasah Ibtidaiyah adalah sejumlah 200 kata dan ungkapan (sejak dari kelas IV sampai kelas VI), sementara waktu yang alokasikan adalah 198 jam pelajaran (148,5 menit). 
Pada Madrasah Tsanawiyah, jumlah perbendaharaan kata yang harus dikuasai berjumlah 700 kata, sementara waktu yang dialokasikan adalah 299 jam: 102 jam untuk kelas satu; 102 jam untuk kelas dua, dan 93 jam untuk kelas tiga.  Sementara pada Madrasah Aliyah, jumlah kosa kata yang seharusnya dikuasai oleh siswa adalah  500 kata dan idiomatik dalam waktu 192 jam pelajaran.
Dengan demikian, jika jumlah mufradât dan jam pelajaran pada ketiga jenjang pendidikan di atas dibandingkan dengan pendapat Dr. Ali al-Hadîdi sebelumnya, seperti tabel berikut ini:
Versi Departemen Agama RI    Versi Ali Al-Hadîdi
Jenjang Pendidikan    Jumlah Mufradât    Jumlah Jam    Jenjang Pendidikan    Jumlah Mufradât    Jumlah Jam
M I    200    198    Pemula    1.000    250
MTs    700    299    Menengah    1.000    250
MA    500    192           
Jumlah    1.400    689    Jumlah    2.000    500
maka dapat diketahui bahwa secara teori, dari segi jumlah jam pelajaran MI + kelas 1 MTs (198 + 104=302) telah dapat dikategorikan sebagai tingkat pemula versi Al-Hadîdî. Sementara kelas II MTs s/d. kelas III Aliyah sebagai tingkat menengah. Kategorisasi ini masih tepat walaupun jumlah menit dalam satu jam antara kedua versi itu berbeda; versi Al-Hadîdî 1 jam = 60 menit (biasanya di Timur Tengah) maka 500 x 60 menit, hasilnya = 30.000 menit, sementara pada madrasah  di Indonesia 1 jam pelajaran = 45 menit, maka 689 x 45 menit, hasilnya = 31.005 menit, maka hasilnnya 30.000: 31.005.
Namun dari segi jumlah beban perolehan mufradât, siswa Indonesia sampai Madrasah Aliyah belum bisa dikategorikan sebagai tingkat menengah versi Al-Hadîdî, sebab perbandingannya mencapai 1.400 : 2.000.
Sementara itu, jika angka-angka tersebut dikaitkan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Dr. Daud ‘Athiyyah Abduh bahwa: “Untuk bisa berbicara dalam bahasa Arab dibutuhkan 350 kosa kata, untuk bisa membaca wacana sederhana dalam bahasa Arab dibutuhkan 500-750 kata, untuk dapat membaca lebih jauh dalam bahasa Arab dibutuhkan 1.000-1.500 kosa kata, untuk dapat menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Asing dibutuhkan 1.500-2.000 kosa kata, dan untuk dapat menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa asing atau bahasa asing ke bahasa Arab dibutuhkan 2.000-3.000 kosa kata  maka siswa tingkat menengah yang dikategorikan oleh Ali Al-Hadîdî diasumsikan telah mampu menerjemahkan bahasa Arab ke dalam bahasa Asing. Sementara jika dikomparatifkan dengan siswa alumni Madrasah Aliyah di Indonesia, maka seharusnya mereka telah mampu membaca teks-teks berbahasa Arab yang lebih bersifat ilmiyah.
Asumsi ini sesungguhnya bersifat kaku dan perlu dibuktikan melalui research field, karena di samping batasan-batasan tersebut hanya diukur secara formal, juga banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan dimaksud terutama faktor lingkungan. Lingkungan yang banyak meng-gunakan bahasa Arab misalnya -seperti lingkungan pesantren- sangat potensial membentuk kemampuan seseorang dalam berbahasa Arab lebih dari ukuran secara formal. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kemampuan berbahasa Arab oleh orang Arab dan tinggal di lingkungan yang berbahasa Arab –pada tingkat pemula- sama dengan kemampuan siswa non-Arab pada tingkat menengah yang bukan bangsa Arab dan tinggal di lingkungan yang tidak memakai bahasa Arab. Atas dasar asumsi itu, penulis menyimpulkan bahasa secara formal, “الناشئة” (pemula) itu tidak hanya siswa yang belajar bahasa Arab pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah, tetapi juga siswa yang sedang atau telah belajar bahasa Arab pada tingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Indonesia. Seiring dengan itu, penulis lebih cendrung mengatakan bahwa siswa Madrasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah di Indonesia masih dikategorikan sebagai tingkat pemula.
D.    Problematika Pembelajaran Materi Nahwu
Mengapa banyak siswa yang belajar nahwu merasa kesulitan menguasai materi tersebut?. Itulah pertanyaan yang ingin dijawab dalam sub bab ini. Menurut Ibn Madhâ al-Qurthubî (w. 592 H.), ada empat faktor penyebab sulitnya materi nahwu: “pertama, teori ‘âmil; kedua, teori ‘illat tsawâni dan tsawâlits; ketiga, teori qiyâs, dan keempat, teori al-tamârîn al-muftaridhah.” 
1.    Teori ‘Âmil.
Secara sederhana dapat didefinisikan, bahwa “ ‘âmil” adalah “sesuatu yang mempengaruhi syakal kata yang sesudahnya menjadi rafa’, nashab, jarr atau jazam. “Sesuatu yang mempengaruhi” dimaksud, dapat berupa fi’il, adwât al-nawâshib, jâzim atau jarr. Senada dengan definisi ini, Muhammad al-Tunjy dan Râji al-Asmar mengemukakan, “ ‘âmil” adalah:
هو الذي يؤثر فى ما بعده فى الرفع او النصب او الجر او الجزم كالفعل، وأدوات النصب والجزم والجر
Artinya: “Yang mempengaruhi baris kata yang disesudahnya, berupa baris rafa’, nasab, jar atau jazm seperti fi’il, dan hurf-hurf nasb, jazm dan jar.”
Secara khusus, ‘âmil dibagi kepada dua: 1). ‘âmil lafzhî, yaitu ‘âmil yang berbentuk dan dilafalkan dalam kalimat; 2). ‘âmil ma’nawî, yaitu ‘âmil yang tidak terlihat secara jelas dan tidak terucapkan dalam struktur kalimat.
Menurut mayoritas ulama nahwu, bahwa i’râb râfa’ terjadi karena ‘âmil lafzhi atau ‘âmil ma’nawi, sementara i’râb nâshib, jârr, dan jâzim terjadi karena ‘âmil lafzhi saja.  Contoh, kalimat          “كتبَ خالدُ الرسالةَ“, marfû’-nya kata “خالد“ (فاعل) disebabkan adanya kata “كتبَ” (فعل), sementara manshûb-nya kata “الرسالةَ“ (sebagai مفعول به) dikarenakan oleh kata خالد dan kata كتبَ  (fi’il dan fâ’il).
Contoh i’râb nâshib dan jârr dapat dilihat dalam kalimat “أرسلتُ الرسالةَ إلى المدرسةِ”. Manshûb-nya kata  “الرسالةَ” sebagai مفعول به karena dibentuk oleh kata “أرسلتُ” (فعل dan فاعل). Sementara majrûr-nya kata “المدرسة” dikarenakan oleh masuknya kata “إلى” (salah satu dari huruf-huruf jârr). Kata “أرسلتُ” dan “إلى” kedua-duanya disebut sebagai ‘âmil lafzhi.
Contoh lain, kalimat: “القرآن دستورٌ للمسلمين”, marfû’nya kata “دستور” (خبر) disebabkan oleh kata: “القرآن” yang berkedudukan sebagai “مبتدأ” (‘âmil lafzhi), sementara apa yang me-rafa’-kan “القرآنُ” (sebagai “مبتدأ”) ?, oleh mayoritas ulama Bashrah menjawab, di-rafa’-kan oleh “ابتداء” (‘amil ma’nâwi) yang berlokasi sebelum kata “القرآن”.
Menurut Ibn Madhâ, praktek analisis seperti ini sangat membingungkan siswa, khususnya untuk pemula. Karena setiap syakal (baris) kata dalam kalimat, menurutnya, bersifat arbitrer dan bergantung kepada kemauan orang yang mengucapkannya. Pendapat yang sama dikemukakan Ibn Jiniy “bahwa ‘âmil râfa’, nâshib, jârr dan jâzim terjadi oleh pembicara sendiri dan bukan karena ‘âmil yang ada pada kalimat yang bersangkutan”  Maka, salah satu tuntutan Ibn Madhâ dalam memperbarui materi nahwu adalah membuang analisis i’râb tanpa teori ‘âmil.
Menurut penulis, solusi yang ditawarkan oleh Ibn Madha di atas sesungguhnya tidak seluruhnya benar, sebab tidak ada satu bahasa pun yang tidak memiliki kaedah struktur kata. Sementara itu i’râb –seperti tersebut di atas- merupakan ciri khas struktur kalimat bahasa Arab yang sebagian besar di antaranya disusun berdasarkan Alquran dan Sunnah.
Namun demikian, dalam upaya efisiensi pembelajaran materi nahwu - khususnya untuk pemula - praktek i’râb yang terkesan filosofis dan berlapis itu hendaknya ditinggalkan. Praktek i’râb yang terkesan filosofis dimaksud adalah menganalisis kata sampai hal-hal yang kecil sekalipun. Seperti “القرآن” mubtada di-rafa’-kan dengan ibtidâ’ tanda rafa’-nya adalah dhammah karena bentuknya mufrad dan setiap yang mufrad tanda rafa’-nya adalah dhammah.
Untuk menformat materi nahwu yang sederhana, khususnya untuk pemula, agaknya cukup menyebutkan hal-hal yang penting saja, seperti “القرآن” jabatannya mubtadâ’ tanpa harus menyebutkan hal-hal kecil seperti disebutkan di atas.
2.    Teori ‘Illat Tsawâni dan Tsawâlits.
Sebelum dijelasakan problematika apa di balik teori ini, terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘Illat. Yaitu:
"الحكم الذى يعطى عن الكلمة فى بنائها واعرابها"  
Artinya: “Hukum yang diberkan terhadap kalimat, baik bina’nya maupun i’rabnya.”
Atau dengan kata lain, ‘illat adalah alasan-alasan yang diberikan dalam menganalisis kalimat dalam strukturnya. Seperti kalimat: “الطلاب يكتبون”, kalau ditanya kenapa ada nûn pada akhir fi’il mudhâri’ (يكتبون)?, jawabannya, karena ia di-rafa’-kan dengan “tsubût nûn” seiring dengan tidak adanya ‘amil nâshib dan ‘amil jâzim. Jawaban tersebut belum cukup, ditambah dengan alasan “karena ia termasuk الأفعال الخمسة” dst.
Contoh lain kalimat: كتب المدرسُ الدرسَ, kalau ditanya, kenapa kata “المدرس” di-rafa’-kan?, jawabannya bisa bertingkat, yaitu: karena kata “المدرس“ jabatannya sebagai فاعل, kemudian kenapa “فاعل“ di-rafa’-kan?, sebab فاعل jumlahnya sedikit dan setiap yang sedikit diberi harakah yang berat yaitu dhammah. Sementara setiap yang banyak, seperti “مفعول به“, diberi harakah fathah agar ada keseimbangan, dst. Menurut Ibn Madhâ, ‘illat kedua dan atau ketiga, seperti contoh di atas, sangat menguras pikiran dan sebenarnya tidak diperlukan untuk kefasihan berbicara.
Atas dasar pertimbangan efektifitas dan perioritas, setiap siswa pemula atau menengah yang sepantasnya mereka diajarkan kemampuan mendengar, memahami dan berucap serta menulis dan membaca dalam bentuk yang sederhana, paradigma nahwu yang ingin melepaskan diri dari praktek dan analisis seperti di atas perlu dipertimbangkan. Seiring dengan itu, yang diperlukan hanyalah ‘illat al-awwal, seperti cukup mengatakan bahwa kata “المدرس” –pada contoh di atas- memiliki jabatan sebagai “فاعل” tanpa mengungkapkan labih jauh, jika ada pertanyaan lebih jauh, sebaiknya hanya dijawab dengan “demikian orang Arab menyebutnya.”
3.    Teori Qiyâs.
Ternyata tidak hanya pada lapangan ilmu fikih yang ada qiyâs, dalam ilmu nahwu juga ditemukan qiyâs. Banyak defenisi yang dikemukakan oleh banyak pakar tentang qiyâs, di antaranya, Al-Jurjâni menyebutkan qiyâs adalah:
هو عبارة عن رد الشيء إلى نظيره. 
Praktek-praktek qiyâs dalam ilmu nahwu, salah satunya dapat dilihat dalam analisis mayoritas ulama nahwu Bashrah yang mengatakan bahwa penyebab فعل مضارع di i’râb karena dianalogikan (dikiaskan) kepada اسم. Oleh karena itu, إعراب bagi اسم adalah ashal, sementara bagi فعل adalah furu’. Analogi ini paling tidak didukung oleh dua persamaan: pertama, keuniversalan zaman فعل مضارع yaitu untuk للحال والاستقبال (untuk masa sekarang dan akan datang) dapat dibatasi dengan menambah kata س /sin/ atau سوف /saufa/ (menjadi khusus للاستقبال), sebagaimana keuniversalan اسم (اسم نكرة) dapat dibatasi dengan cara menambah “ال” /alîf/ dan /lâm/. Kedua, فعل مضارع boleh dimasuki oleh lâm al-Ibtidâ’ sebagaimana halnya pada اسم.
Menurut Ibn Madhâ, praktek analogi seperti ini akan sangat sulit dicerna siswa pemula, bahkan Ibn Madhâ sendiri ingin menghapuskan peraktek seperti itu dari materi nahwu pada semua jenjang pendidikan. Ibn Madhâ menawarkan rekonstruksi, bahwa untuk efisiensi materi tersebut lebih tepat kalau mengatakan bahwa فعل مضارع di i’râb ketika tidak diiringi oleh نون النسوة  dan نون التوكيد.
Menurut penulis, problematika yang akan ditimbulkan dari praktek qiyas untuk pemula memang menjadi sebuah realita yang tidak bisa diingkari, namun usaha Ibn Madhâ untuk menghapuskan materi ini dari halaman-halaman materi nahwu untuk semua tingkatan masih perlu “dipertimbangkan”, sebab analisis seperti ini bagi mereka yang mengambil spesialis di bidang nahwu sudah menjadi “konsumsi yang melezatkan.” Dengan demikian, paradigma membuang praktek qiyas untuk tingkat pemula menjadi sebuah alternatif yang perlu dipertimbangkan.
4.    Teori Tamârîn Iftirâdhiyah.
Secara etimologi, “tamârîn” merupakan bentuk jama’ dari “tamrîn” sementara “tamrîn” adalah bentuk mashdar dari fi’il “marrana-yumarrinu” yang dalam banyak kamus diterjemahkan dengan “membiasakan atau latihan.” Sementara itu, “iftirâdhiyah” juga merupakan bentuk infinitive dari fi’il: “iftaradha-yaftaridhu” yang berarti “asumsi, perkirahan atau dibuat-buat.” Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut “Tamârîn Iftirâdhiyah” yang dimaksud di sini adalah: “Latihan-latihan analisis yang dibuat-buat.”
Sebagai contoh, kata بيد /bayada/ bila ber-wazan فُعل /fi’ila/, kata ini bisa di baca: بُود /bûda/ dan asalnya adalah بُيد /buyida/ lalu huruf ي /ya/ diganti menjadi و /waw/ karena huruf sebelumnya ber-harakat ضمة /dummah/. Bisa juga dibaca بِيد /bîda/ dan asalnya بُيد /buyida/, kemudian harakat ضمة /dummah/ pada ب /bâ/ diganti كسرة /kasrah/ untuk menyesuaikan dengan huruf ي /yâ/ yang ada di depannya. Lalu mana di antara keduanya yang paling benar?. Dalam bahasa lain analisis seperti ini disebut dengan i’lâl dan ibdâl.
Ibn Madhâ mengatakan hal yang demikian tidak perlu, bahkan menurut penulis, perbedaan analisis dan pendapat seperti itu tidak hanya banyak menyita “energi” kita, tetapi juga diasumsikan hampir tak akan pernah berakhir, sementara persoalan itu sendiri tidak banyak memberikan kontribusi terhadap kefasihan bicara. Oleh karena itu, menurut Ibn Madhâ, “Tentu lebih baik kalau teori seperti ini dibuang dari materi nahwu.” 
Di samping beberapa persoalan tersebut di atas, yang juga dianggap menjadi problem dalam materi nahwu adalah: 1). Banyaknya topik-topik pembahasan materi nahwu yang antara satu sama lain memiliki perbedaan yang sangat tipis, antara lain adalah: مفعول مطلق، مفعول لأجله، مفعول معه dll.; 2). Contoh-contoh yang dipakai dalam menjelaskan materi adalah contoh-contoh yang tidak situasional dan jauh dari kehidupan sehari-hari peserta didik.  
Prakter-praktek analisis seperti tersebut, kemudian menggeser penggunaan bahasa Arab dari bahasa aktif menjadi bahasa fasif. Hasan Syahâtah mengatakan, bahwa pergeseran ini merupakan salah satu penyebab mengapa materi nahwu terasa sulit dikuasai. 
E.    Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Nahwu merupakan bagian dari beberapa ilmu bahasa Arab. Namun ilmu nahwu memiliki peran penting dalam kajian bahasa Arab. Karena tanpa nahwu seseorang tidak akan bisa menguasai semua keterampilan berbahasa bahasa Arab dengan baik, seperti berbicara, membaca dan menulis.
2.    Faktor utama yang membuat materi nahwu menjadi sulit adalah adanya analisis i’rab yang filosofis dan berlapis. Sementara analisis seperti ini dinilai tidak banyak memberikan kontribusi positif dalam memahami sebuah teks. Apalagi terhadap kefasihan berbicara dalam bahasa Arab
3.    Berdasarkan sistematisasi pemerolehan keterampilan berbahasa, bahwa peserta didik pemula lebih diarahkan kepada pencapaian keterampilan mendengar dan berbicara. Oleh karena itu, pemberian materi nahwu yang bersifat analisis dan berlapis untuk pemula -seperti disebutkan dalam bab pembahasan- hendaknya dikesamping-kan. Hal ini dinilai merupakan langkah tepat dalam upaya mengeliminir sulitnya belajar nahwu. Dengan kata lain, pemberian materi nahwu yang bersifat analisis dan berlapis tidak tepat diajarkan kepada peserta didik pemula. Tepatnya diberikan kepada peserta didik pada jenjang selanjutnya.

* (Penulis adalah dosen Ilmu al-Lughah dan Bahasa Arab Arab di Fakultas Tarbiyah IAIN SU dan di beberapa STAI Swasta di Kota Medan dan Sekitarnya).




Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Tanzimat KOPERTAIS WIL IX, Vol. 3 Thn X Jan-Juni 2006

DAFTAR BACAAN
‘Abduh, Daud ‘Athiyat, al-Mufradât al-Syâi’at fi al-Lugat al-‘Arabiyah, Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Kosa kata Bahasa Arab Populer, Surabaya: Alfikar, 1996 M., cet. ke-2.
Ahmad, Muhammad ‘Abdu al-Syahid, Thuruq Ta’lîm Qawâ’id al-Lugat al-‘Arabiyah, Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1987 M.
Al-Ghulâyaini, Mushthafâ, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, Bairût: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1987 M./1408 H., cet. ke-21, jilid. I.
al-Hadîdî, Ali, Musykilât Ta’lîm al-Lugat al-‘Arabiyat Li Gair al-‘Arab, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Araby li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, t.th.), h. 132-133.
Al-Hâsyimi, Al-Sayyid Ahmad, al-Qawâ’id al-Asâsiyat li al-Lugat al-‘Arabiyah, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Al-Jurjâni, Al-Syarîf ‘Ali bin Muhammad, Kitâb al-Ta’rîfât, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988 M./1408 H., cet. II.
Al-Rikâbi, Jûdat, Thurq Tadrîs al-Lugat al-‘Arabiyah, Bairût: Dâr al-Fikr al-Ma’âshir, 1996 M., cet. I.
Al-Sayyid, Mahmûd Ahmad, Tathwîr Manâhij Ta’lîm al-Qawâ’id al-Nahwiyah, “Nadwah: Manâhij al-Lugat al-‘Arabiyat fî al-Ta’lîm mâ Qabl al-Jâmi’, Al-Mamlakat al-‘Arabiyah al-Sa’ûdiyat Wizârah al-Ta’lîm al-‘Âly Jâmi’ah Imâm Muhammad bin Sa’ûd al-Islâmy Markaz al-Buhûts, 1405 H.
Al-Tunjy, Muhammad dan Râji al-Asmar, al-Mu’jam al-Mufashshal fî ‘Ulûm al-Lugah (al-Lisaniyât), Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993 M./1414 H., cet. I, jilid. I.
Babâty, ‘Azizah Fawwâl, Al-Mu’jam al-Mufashshal fî al-Nahwi al-‘Araby, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992 M./1413 H., cet. I, jilid: II.
Departemen Agama RI., Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) Madrasah Ibtidaiyah, Mata Pelajaran Bahasa Arab, tahun 1997/1998 M.
Dhayf, Syauqî (ed.), Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât li Ibn Madhâ al-Qurthubî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th., cet. ke-3.
Hasan, Abbâs, Al-Lugat Wa al-Nahw, Mesir: Dâr Al-Ma’ârif, t.th.
Hijâzi, Mahmûd Fahmi, ‘Ilm al-Lugat al-‘Arabiyah, Kuwait: Wikâlat al-Mathbû’ât, 1973 M.
Ibn Jiniy, Abu al-Fath Utsmân, al-Khashâish, Bairût: Dâr al-Kitâb al-‘Araby, t.th., jilid: I.
Ibrâhîm, Abd. Al-‘Alîm, al-Muwajjih al-Fannîy Li Mudarris al-Lugat al-‘Arabiyah, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1968 M./ 1387 H., cet. ke-4.
Nu’mah, Fuâd, Qawâ’id al-Lugat al-‘Arabiyah, Bairût: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyah, t.th..
Syahatah, Hasan, Ta’lîm al-Lugat al-‘Arabiyat Bain al-Nazhriyat wa al-Tathbîq, Kairo: Dâr al-Mishriyah al-Banâniyah, 1992 M./1412 H., cet. I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkomentar Di Blog Saya